Kamis, 23 Januari 2020

TA'AWUN

TA'AWUN

Sore itu, aku sedang ngobrol bersama istri dan sahabatku Sasa ketika tiba-tiba datang seorang pemuda menyampaikan uluk-salam seperti umumnya orang bertamu. Kami pun menjawab salamnya dan mempersilakan pemuda itu duduk. Menilik penampilannya, pemuda itu umurnya belum lebih dari dua puluh tahun. Wajahnya bersih tampak belum banyak dosa. Sorot matanya jernih tajam, bibirnya juga murah senyum. Dia kuliah semester 6 dan masih aktif sebagai anggota IMM di Klaten.

"Mohon maaf, Pak. Perkenalkan nama saya Sandi," pemuda itu memperkenalkan diri.

"Siapa, Mas? Sandi? Sandi Uno, ya?," tanya Sasa sok usil.

"Sandi saja, Pak, gak pakai Uno," jawabnya.

"Mungkin bapakmu dulu pengagum Sandi Uno ya, Mas? Atau jangan-jangan kemarin juga ikut relawan Prabowo-Sandi?" Sasa masih neruskan usilnya.

"Mas Sasa ini bagaimana, to?" istriku menyela, "Waktu Mas Sandi ini lahir, tentu Sandiaga Uno masih anak-anak dan  belum terkenal seperti sekarang," lanjutnya.

"Iya ya, Mbak. Lha kok ndelalah namanya sama-sama Sandi, ya?"

"Ada agenda apa ini, Mas Sandi?  Wonten dhawuh?" tanyaku ke Sandi.

"Begini, Pak. Saya marketing dari LDKWM Pimpinan  Daerah Muhammadiyah Klaten, sowan ke sini mau sosialisasi program. Mungkin nanti Bapak dan Ibu berkenan ikut program ini, syukur juga berkenan mengikutkan semua karyawan Bunda Collection," jawab Sandi.

"Program apa tadi, Mas?" tanya istriku.

"LDKWM, Bu, yaitu Lembaga Dana Kerukunan Warga Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Klaten."

"Maksudnya bagaimana itu, Mas?," Sasa ganti bertanya.

Sandi pun berusaha menjelaskan tentang LDKWM. Berbeda dengan cara sales asuransi atau agen MLM dalam memprospek calon klien atau downline-nya, Sandi tampak santun memahamkan kami tentang pentingnya LDKWM. Dijelaskannya bahwa program ini dibuat sebagai upaya PDM Klaten membangun dan mengembangkan budaya ta'awun, budaya tolong-menolong antar warga Muhammadiyah dan masyarakat pada umumnya. Masyarakat perlu diajak untuk saling tolong-menolong terutama pada yang sedang teekena musibah atau kesusahan dengan menjadi anggota LDKWM. Caranya gampang sekali. Calon anggota cukup mendaftar dan membayar infaq atau iuran sebesar Rp 20.000 per tahun. Setelah itu, peserta akan mendapatkan Kartu Anggota yang akan berlaku satu tahun.

"Cuma Rp 20.000 per tahun, Mas? Kok murah banget ya, Om? Gak seperti iuran wajib BPJS yang semakin mahal, "  Sasa menyela.

"Iya, Pak. Memang murah. Bahkan untuk anak-anak pelajar TK, SD, SMP, SMA besarnya iuran cuma Rp 10.000 per tahun. Ini karena kita menyesuaikan dengan kekuatan warga yang ekonominya rendah," jawab Sandi.

"Terus peserta dapat manfaat apa, Mas Sandi?," tanya istriku.

"Ada beberapa manfaat yang akan didapatkan peserta, Bu. Pertama, bila peserta sakit lalu periksa dokter dan rawat jalan, dia bisa ngajukan klaim ke LDKWM untuk mendapatkan santunan sebesar Rp 30.000. Kedua, kalau peserta diopname, dia bisa mendapatkan santunan sebesar Rp 350.000. Klaim santunan yang pertama dan kedua ini bisa dilakukan tiga kali dalam satu tahun."

"Lumayan juga ya, Mbak?" Sasa menyela.

"Masih ada manfaat ketiga dan keempat, Pak."

"Apa itu, Mas?"

"Yang ketiga, kalau peserta meninggal karena sakit, keluarganya bisa mendapatkan santunan, semacam bebungah, sebesar Rp 500.000. Dan yang keempat, bila peserta meninggal karena kecelakaan, keluarga bisa mendapatkan santunan sebesar Rp 1.250.000."

"Wah hebat itu. Dengan membayar iuran Rp 20.000 dan Rp 10.000 per tahun bisa dapat manfaat lumayan lho, Mas Sasa," kata istriku, "Terus cara ngajukan santunan bagaimana, Mas Sandi?"

"Cukup nunjukkan bukti periksa dokter, kuitansi opname, atau surat keterangan meninggal, Bu," jawab Sandi.

"Dengan iuran cuma segitu dan manfaatnya yang lumayan bagi peserta, apa pengelola gak rugi ya, Om?," Sasa komentar lagi.

"Insya Allah tidak, Pak. Pertama, karena biaya operasional kami sangat kecil. Kedua, dengan mengelola ini kami para relawan cuma mengharap barokahnya."

"Gak digaji ratusan juta seperti direksi BPJS?"

"Wah ya tidak, Pak. Ini cuma lembaga sosial kok, bukan lembaga bisnis. Makanya syarat jadi peserta dan cara klaim santunan juga sangat mudah."

"Bagus itu, Mas. Orang pintar bilang, untuk urusan tolong-menolong, kalau bisa dipermudah kenapa dipersulit?," sahut istriku.

"Wah tapi kalau BPJS memang sangat zulit kok, Mbak. Sudah iurannya mahal, penggunaannya pun rumit," kata Sasa.

"Rumit piye, Sa? Semua kan harus ada aturan dan prosedurnya?"

"Rumit tenan kok, Om. Kalau kita sakit, biar sudah thelo-thelo dan kejang-kejang, kita tidak bisa langsung ke rumah sakit yang kita inginkan, tapi harus ke dokter keluarga dulu minta rujukan. Iya to, Mbak?"

"Iya benar, Mas? Kalau pun kita dapat rujukan hanya untuk periksa di rumah sakit type-D, tidak bisa langsung ke type-C atau B apalagi A."

"Repot lagi kalau pasien sehabis opname mau kontrol, Om. Harus nyiapkan waktu sehari penuh, sejak antri pendaftaran di loket BPJS, antari pendaftaran periksa, antri cek tensi, antri periksa dokter, hingga antri apotek. Butuh waktu berjam-jam, Om. Sungguh tidak enak jadi orang sakit jaman sekarang."

"Dari dulu juga tidak enak, Sa."

"Dulu lebih mudah urusannya, Om. Kita tinggal milih dokter atau rumah sakit dan membayar biaya periksa dan obatnya. Sekarang bertele-tele, Om."

Waktu maghrib tiba. Terdengar azan bersahut-sahutan dari masjid-masjid di seantero kampungku. Obrolan kami pun berakhir.

#serialsasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar